Usaha perlengkapan kebutuhan menjahit tidak segemerlap dunia fesyen

Fesyen telah memberi sumbangsih besar bagi industri kreatif di Indonesia. Pada 2008, industri fesyen menyumbang kontribusi Rp 107,8 triliun. Butik dalam negeri yang menawarkan desain lokal pun makin menjamur dan diminati. Meski demikian, kemajuan dan gegap gempita industri fesyen tak diikuti bisnis alat jahit dan perlengkapannya di pasar tradisional.

Bisnis penjualan perlengkapan jahit yang lesu tak hanya dirasakan di awal tahun ini. Sejak Lebaran tahun lalu, para pedagang perlengkapan jahit di Pasar Ciputat, misalnya, tak lagi meraih omzet hingga puluhan juta. Paling banter, pendapatan mereka hanya mencapai Rp 7 juta sebulan.

Padahal, harga barang yang dijual sama sekali tidak naik. Wilis, pemilik Wilis Bordir yang telah 10 tahun berjualan perlengkapan jahit di Pasar Ciputat, Tangerang, mengaku, di 2010, penjualan alat-alat jahit turun drastis.

Perlengkapan jahit, seperti aneka benang untuk bordir, mote-mote, resleting untuk pakaian dan tas, kancing, gunting, pita-pita, karet, payet, kristal swaroski, jarum pentul, kain hingga lem tak lagi banyak terjual.

Bahkan, jika dulu, Wilis bisa rutin membeli barang hingga dua kali seminggu, kini ia berbelanja dua minggu sekali. Wanita berusia 45 tahun ini juga mengeluhkan barang lama yang belum jua terjual, meskipun telah berbulan-bulan.

Wilis mengandalkan para pelanggan yang datang membeli peralatan jahit di tokonya secara grosiran. “Kalau pelanggan yang membeli eceran sulit terjual semua barangnya. Istilahnya, cuci gudang agar barang di toko juga tidak terlalu menumpuk,” ujarnya. Lalu lalang pembeli yang datang ke toko Wilis terbilang cukup sering. Karena itu tokonya terbilang ramai.

Rina, pembeli peralatan jahit di toko Wilis, mengatakan, ia lebih suka membeli peralatan jahitnya di pasar dibandingkan harus mencari di hipermarket atau gerai lainnya. “Harganya jauh lebih murah. Selain itu, kami juga sudah saling kenal, jadi lebih mudah untuk memesan jenis-jenis barang yang warna atau modelnya kurang umum atau jarang,” ungkap dia.

Tak sekadar belanja, pengunjung juga sering belajar pada Wilis. “Ada yang belajar menjahit, bordir kain, selendang hingga kerudung. Kalau toko terlihat lebih ramai maka para pembeli akan lebih tertarik untuk datang mampir ke sini,” tutur Wilis. Maklum, selain berdagang, ia juga mengajar di sekolah jahit yang ada di sekitar Ciputat.

Para pembeli yang datang ke tokonya membelanjakan peralatan jahit sebesar Rp 15.000 hingga Rp 250.000 untuk membeli pelbagai jenis kebutuhan peralatan kebutuhan menjahit. Harga yang dipatok Wilis memang terbilang murah, mulai dari Rp 500 untuk jarum, Rp 5,000 hingga Rp 15.000 untuk benang, Rp 1.000 hingga
Rp 10.000 untuk mote-mote. Para pembeli pun masih bisa menawar banderol harga tersebut.

Supaya untung lebih maksimal, Wilis juga menjual kain kafan dengan harga Rp 10.000 per meter. Jika tiap hari ia mendapatkan tiga pesanan dengan panjang 15 meter, maka pendapatan Wilis pun bertambah hingga Rp 450.000 per hari.

Senada dengan Wilis, Ridwan, pemilik toko alat jahit di Pasar Ciputat juga sepakat penjualan mereka melesu memasuki awal tahun ini. “Merugi sih tidak tapi tak banyak pembeli,” ujarnya. Untuk menyiasati pendapatan yang melorot, Ridwan dan Wilis juga melayani jasa perbaikan kancing jas, mengganti ritsleting, bordir pakaian, pasang payet, dan neci selendang.

Alhasil, kedua pemilik toko perlengkapan jahit ini mampu mempertahankan omzet berkisar Rp 7 juta hingga Rp 10 juta tiap bulan. Karena itu, mereka pun yakin, selama sandang atau pakaian masih menjadi kebutuhan pokok, usahanya tak akan gulung tikar.

Baik Wilis maupun Ridwan pun menyadari bahwa bisnis penjualan perlengkapan jahit memang mengenal saat-saat pasang surut, sama seperti usaha-usaha lainnya.

Source : http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluang%20usaha/56586/Usaha-perlengkapan-kebutuhan-menjahit-tidak-segemerlap-dunia-fesyen